fbpx

Identitas tanpa Eksistensi: Perlakuan Proposisional Quine

Suatu objek yang dipikirkan manusia, memiliki eksistensi karena kita memang memikirkannya, bukan karena merupakan suatu fakta x bahwa kita memikirkannya.
WVO Quine
WVO Quine

Apa itu yang ada? Kita akan membilang seluruh objek di sekitaran kita: lampu, buku, langit, matahari dan lain-lain. Tetapi bagaimana jika seseorang bertanya, “Apa yang kamu inginkan?” kita akan menjawab “Aku ingin kapal pesiar, iPhone, Taylor Swift.” dan objek lain yang terpikirkan. Bagaimana seseorang dapat menjamin bahwa kapal pesiar yang kita pikirkan sesuai dengan kapal pesiar yang ada?

Russel dan Teori Deskripsi: Eksistensi dengan Predikasi

Sehari-hari, kita menyatakan suatu pernyataan. Pernyataan atau proposisi, dalam bentuk sederhananya adalah klausa Suatu F adalah G. Sebagai contoh:

Walter Scott adalah penulis buku Waverly
Ratu Inggris sekarang adalah seorang sarjana

Bertrand Russell (1872-1970) menyatakan bahwa proses menyatakan proposisi ini tidak lepas dari tendensi kita untuk menyatakan kebenaran. Bahwa proposisi tersebut harus mengemban suatu kebenaran berdasarkan suatu fakta. Selain menjangkarkan kebenaran pada suatu fakta, dalam proses menyatakan proposisi, kita juga memiliki tendensi untuk merujuk suatu objek yang keberadaannya terikat dalam fakta proposisi. Sebagai contoh, dalam menyatakan “Walter Scott adalah penulis buku Waverly”, adalah untuk merujuk suatu x yang menulis buku Waverly (fakta), dan suatu hal tersebut adalah Scott.

Untuk perlakuan terhadap objek denotasi x, selebihnya, Russel memperkenalkan Teori Deskripsi dalam tulisannya On Denoting. Teori Deskripsi meniscayakan suatu objek bermakna jika dan hanya jika ia terinstansiasi (tercontohkan) dari fakta pada proposisi. Sebagai contoh, dalam frasa nominal “Penulis buku Waverly”, kebermaknaan objek x (penulis buku Waverly) didapatkan dari hasil pencarian (instansiasi/percontohan) orang di dunia nyata yang menulis buku Waverly. Jika orang tersebut tercontohkan, maka objek x bermakna dan fakta proposisinya benar. Sebaliknya, jika suatu frasa nominal tak memiliki denotasi atau tidak dapat terinstansiasi seperti “Kopula bundar-kotak”, maka objeknya tak bermakna (tidak eksis) dan fakta proposisinya salah.

Hal ini berkaitan lebih lanjut dengan bagaimana Russell mengadaptasi logika orde kedua dalam penerapan sistem logikanya. Dalam logika dan matematika, logika orde kedua adalah ekstensi dari logika orde pertama, yang pada dirinya sendiri merupakan ekstensi logika proposisional.

Dengan penjangkaran atas logika orde kedua, suatu objek dapat hadir atas konsep yang menginstansiasi atau mengejawantahkannya. Contohnya, konsep manusia dapat menginstansiasi (mencontohkan) deretan variabel seperti Taylor Swift, Musisi, Mahasiswa, Andi dan lain-lain. Hal ini sesuai dengan prinsip teori deskripsi yang menjangkarkan kehadiran objek x atas fakta yang diemban kalimatnya (yang di dalamnya terdapat konsep/predikat yang sesuai fakta, seperti suatu hal menulis buku Waverly).

Dengan penjangkaran atas logika orde kedua, suatu objek dapat hadir atas konsep yang menginstansiasi atau mengejawantahkannya. Contohnya, konsep manusia dapat menginstansiasi (mencontohkan) deretan variabel seperti Taylor Swift, Musisi, Mahasiswa, Andi dan lain-lain. Hal ini sesuai dengan prinsip teori deskripsi yang menjangkarkan kehadiran objek x atas fakta yang diemban kalimatnya (yang di dalamnya terdapat konsep/predikat yang sesuai fakta, seperti suatu hal menulis buku Waverly).

Masalah Eksistensi dengan Predikasi: Identitas di Pikiran

Kalimat “Raja Prancis sekarang botak”, dalam penggunaan kuantor eksistensial, dapat dinotasikan sebagai berikut:

(∃x) (x adalah Raja Perancis sekarang. x adalah botak).

Bagaimana Russell memperlakukan proposisi dalam format “Abdu percaya kucing lebih baik daripada anjing.”? Hal ini akan dinotasikan sebagai

(∃x) (Abdu percaya x. x lebih baik daripada anjing).

Eksistensi x (kucing) dapat terinstansiasi oleh kucing manapun. Tetapi, bagaimana kita yakin bahwa kucing yang dicontohkan untuk mensubstitusi identitas x sesuai dengan identitas x dalam pikiran Abdu?

Format proposisi “S percaya p” mengandaikan suatu subjek atau orang asli yang menyatakan proposisi p. Bagi Russell, tidak ada relasi antar orang dan proposisi pada proposisi “S percaya (atau kegiatan mental lainnya seperti merasa, mempercayai dll) bahwa p”. Apa yang terjadi pada proposisi dalam format tersebut adalah bahwa “saya meng-x” hanya diperlakukan sebagai proposisi sendiri yang tidak menginstansiasikan keberadaan atau eksistensi “manusia” asli yang sedang berpikir, tetapi subjek yang mempertahankan subsistensinya.

Pernyataan “I think, therefore I am” adalah pernyataan yang sama dengan “aku adalah subjek dari proposisi, maka aku ada”1: “aku adalah” menegaskan subsistensi atau being, bukan eksistensi. Akan keliru untuk menyatakan “S believes p” sebagai relasi orang dan proposisi sebagaimana orang adalah fiksi dan begitupun proposisi, kecuali dalam hal di mana orang tersebut dipahami sebagai fakta pada dirinya sendiri (aku sedang berfikir).

Bagi Russell, bagi suatu hal untuk menjadi eksis tidaklah begitu penting, sebab, jangkar benar-salah suatu hal adalah proposisi dan bukan subjeknya: “it is of propositions, not of subjects, that the law of contradiction is asserted”. Hal ini melanjutkan kemudian, bagaimana, bagi Russell, pemaknaan dan nilai-kebenaran dari suatu proposisi lebih penting. Ketika kita menemukan proposisi seperti “Raja Prancis sekarang botak” (yang tentunya tidak benar karena tidak ada fakta bahwa kini terdapat raja Prancis) adalah untuk menilai proposisi tersebut salah. Meskipun demikian, ia masih meninggalkan instansiasi atau percontohan x sebagai konsekuensi logis dari proposisi tersebut (meskipun salah atau tidak bermakna: non-eksisten; tidak dapat didenotasi).

Oleh karena itu, perlakuan terhadap status ontologis objek harus selalu fiktif.  Russell memang tidak membedakan suatu hal eksisten tetapi tidak eksis seperti Meinong. Menurut Meinong, suatu hal adalah hal eksisten walaupun tidak eksis seperti contohnya Kopula Bulat-kotak. Tentu hal ini eksisten identitasnya, meskipun ia tidak eksis. Untuk merespon kritik ini, Russel mengatakan bahwa tidak ada perbedaan antara mengada dan menjadi-eksisten:

“I must confess that I see no difference between existing and being existent; and beyond this I have no more to say on this head

Tetapi, kembali lagi pada identitas kucing Abdu. Proposisi “Abdu percaya kucing lebih baik daripada anjing” akan memiliki format p percaya p dalam teori Russell. P (Abdu) sebagai fakta menginstansiasi x sebagai abdu yang fiktif. P (kucing lebih baik daripada anjing) menginstansiasi x sebagai kucing yang lebih baik daripada anjing yang mana juga fiktif. Terlepas fiktif, mereka tetap benar (karena merupakan fakta bahwa x adalah kucing dan x lebih baik daripada anjing dalam teori deskripsi). Semenjak Kucing x adalah suatu hal yang bermakna dan memiliki identitas dari deskripsi (lebih baik daripada anjing), apakah identitas kucing yang tercontohkan sesuai deskripsi sudah sesuai dengan yang terpikirkan Abdu?

Identitas tanpa Eksistensi

Sehari-hari, kita menyatakan suatu kalimat atau proposisi dengan terma subjek yang sedang melakukan suatu kegiatan mental (seperti pada contoh Abdu). Misalnya “Derry memburu Unicorn”. Dengan pemikiran Russel, maka kita dapat menotasikan:

(∃x)(x adalah Unicorn. Derry memburu x)

Pernyataan “Derry memburu Unicorn” dalam teori Russell menjadi salah karena status Unicorn yang non-eksisten. Tetapi, hal ini bukan disebabkan karena fiksi zoologi. Sama halnya seperti:

(∃x) (x adalah singa. Ernest memburu x) (1)

Kekuatan (1) lebih dijangkarkan pada singa individual (atau beberapa) yang Ernest sedang buru; yang dimiliki properti sirkus, sebagai contoh. Tetapi, bandingkan dengan kalimat (2):

(∃x) (x adalah kapal pesiar. Anju ingin x) (2)

Kalimat (2) hanya akan menjadi benar sejauh terdapat kapal pesiar tertentu yang Anju inginkan. Jika apa yang Anju inginkan hanyalah contoh instansiasi tertentu dari ke-kapal-pesiar-an, maka (2) meyakinkan ide yang salah. Alih-alih mencontohkan kapal pesiar yang akan membuat fakta pada kalimat (2) benar, bagi Quine, akan lebih tepat jika (∃x) (x adalah kapal pesiar. Anju ingin x dituliskan sebagai berikut:

Anju berharap bahwa (∃x) (x adalah kapal pesiar. Anju memiliki x)

Quine membagi sifat relasional dan notasional dalam kalimat dengan unsur menginginkan, berharap, percaya dan lain-lain. Seperti contoh:

(∃x) (Ralph percaya bahwa x adalah mata-mata) (3)
Ralph percaya bahwa (∃x) (x adalah mata-mata) (4)

Keduanya mungkin dapat diparafrase sama sebagai “Ralph percaya bahwa seseorang adalah mata-mata”. Tetapi, secara tidak ambigu, mereka diparafrase berbeda sebagai (3) terdapat seseorang yang Ralph percayai sebagai mata-mata’ dan (4) “Ralph percaya bahwa terdapat mata-mata”. Seperti yang sehari-hari kita lakukan, Ralph akan menganggap bahwa (4) benar dan (3) salah. Perbedaan mencolok keduanya adalah bahwa Ralph yang sedang “mempercayai bahwa-x” direduksi Russell menjadi subjek fiktif semata dalam proposisi; bahwa Ralph bukanlah orang asli yang sedang mempercayai suatu hal dan suatu hal tersebut identitasnya dicontohkan dirinya sendiri.

Pembedaan ini akan membantu kita dalam menalar proposisi seperti “Witold berharap bahwa x adalah Presiden”

(∃x) (Witold berharap bahwa x adalah Presiden) (5)
Witold berharap bahwa (∃x) (x adalah Presiden) (6)

Berdasarkan (5), Witold memiliki kandidatnya; berdasarkan (6), ia hanya berharap bentuk pemerintahan idealnya sendiri. Terlepas x eksis karana fakta bahwa bahwa x adalah presiden yang diharapkan Witold, akan lebih natural mengatakan bahwa Witold memiliki harapan bahwa x adalah presiden. Bayangkan suatu kondisi di mana ternyata identitas x yang dipikirkan dalam harapan Witold ternyata bukan-x. Maka proposisi “Witold berharap bahwa x adalah presiden”  akan jatuh pada kontradiksi (x adalah presiden dan bukan presiden secara bersamaan). Tetapi, jika kita menggunakan notasi (6), kita cukup menambahkan 

Witold berharap bahwa (Ex) (x bukanlah presiden), sehingga Witold tetap mempertahankan identitas x sebagai presiden yang ia harapkan sebagai orang yang berharap (bukan suatu entitas fiktif). 

Proposisi (6) membawakan percakapan tentang kegiatan mental manusia sebagai suatu hal yang tidak terikat faktanya pada rumus, tetapi sekedar kegiatan berharap manusia yang merupakan suatu fakta alami. 

Hal ini berkaitan lebih lanjut dengan bagaimana Quine (1908-2000) menggunakan logika orde pertama untuk sistem filsafat logikanya. Dalam On what there is, ia merincikan bagaimana kriteria bagi suatu hal untuk eksis bukanlah instansiasi atas property universalnya. Bahwa properti G tidak menginstankan F (dengan predikasi). Bahwa ketika kita berbicara tentang meja, tidak ada properti ke-meja-an universal yang dapat diinstansiasi sesuai proposisinya. Quine memang memperlakukan objek tidak secara platonis tetapi nominalis.

Kesimpulan

Suatu objek yang dipikirkan manusia, memiliki eksistensi karena kita memang memikirkannya, bukan karena merupakan suatu fakta x bahwa kita memikirkannya. Maka, identitas tanpa eksistensi pun dimungkinkan, sebagaimana kita dapat memikirkannya (bahkan mereka sudah eksis ketika dipikirkan). Hal ini dikarenakan, dalam proses memikirkan objek itu sendiri, kita telah menguantifikasi objek tersebut; bahwa ia dapat dikuantifikasi secara nominalis. Dengan cara ini kita dapat memiliki basis keberadaan suatu identitas tanpa suatu eksistensi.

Raisa Rahima

Mahasiswa Filsafat S1 Universitas Gadjah Mada. Tidak suka berpikir secara logis. Menyukai berpikir dengan emosi

Catatan

  1. Perlu diingat bahwa dalam bentuk teori deskripsi, x adalah subjek proposisi, x adalah aku.

Berikan komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Skip to content