While many sociocultural, contextual, biological, behavioral, and psychological variables may contribute to the widespread under-representation of girls and women in the science, technology, engineering, and mathematics field, this study focused on STEM-gender stereotypes, school experiences, and adolescence as critical factors in driving students' interest and motivation in STEM. Based on this, the study investigated differences by gender and national context in adolescents' STEM-gender stereotypes, school empowerment, and school engagement in a preliminary step, and simultaneously examined how adolescents' STEM-gender stereotypes were (...) related to school empowerment and school engagement as well as to socioeconomic status. These latter relations were considered within the context of the potential moderating role of gender and national context. Participants included 213 Italian adolescents and 214 Nigerian adolescents, who completed measures of school empowerment and engagement, STEM-gender stereotypes, and SES. A multivariate analysis of covariance showed that Nigerian girls and boys reported significantly higher levels of school empowerment, school engagement, and STEM-gender stereotypes than their Italian peers. Moreover, regardless of the national context, boys scored significantly higher on school empowerment and STEM-gender stereotypes than girls. Furthermore, a multiple-group path analysis revealed how higher school empowerment was related to lower STEM-gender stereotypes in both Italian and Nigerian girls' groups, while higher school engagement was associated with lower STEM-gender stereotypes only in the Nigerian groups. Regardless of gender and nationality, higher SES was linked to lower STEM-gender stereotypes. These findings particularly suggest that school empowerment and school engagement can be relevant dimensions to be studied and to develop strategies to counteract STEM-gender stereotypes in adolescence. Nonetheless, gender and national context are key factors to be considered. Limitations, strengths, future research, and educational implications are discussed. (shrink)

Berikut ini diperkenalkan tiga buku yang ditulis oleh para dosen Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi Widya Sasana di Malang tentang bagaimana Gereja Katolik perlu menempatkan diri dalam ruang publik Indonesia. Fokus buku pertama, tulisan Prof. Dr. Armada Riyanto (2014), adalah ajaran sosial Gereja Katolik, jadi ajaran mengenai bagaimana Gereja Katolik memahami panggilannya dalam masyarakat yang sekaligus menjadi ruang publiknya. Sepintas alur buku ini dapat mem- bingungkan karena penulis suka melancong ke pelbagai bidang sam- pingan, apalagi ia tidak menjelaskan susunan bukunya. (...) Namun kekaya- an buku ini justru terletak dalam luasnya acuan, penjelasan pelbagai latar belakang, serta perhatian pada konteks-konteks ajaran sosial Gereja yang diangkat penulis. Dengan demikian pembaca dibantu dalam mencari bagaimana umat Katolik Indonesia dapat memberikan sum- bangannya bagi bangsanya dalam segala pergulatannya. Bagian kedua, mulai dari bab ke-10, memasuki situasi umat Katolik Indonesia sebagai minoritas yang sepertinya masih “kurang memiliki” (187). Bertolak dari catatan bahwa waktu Congregatio Missionis (Romo-romo CM) mengam-bil alih wilayah Jawa Timur dari romo-romo Yesuit hanya ada 40 umat Katolik Jawa tercatat (hal. 203), bab 11 menjelaskan kesulitan yang dialami Gereja Katolik sejak dari permulaan abad ke-19 dalam bergiat di Hindia Belanda. Namun kemudian dijelaskan bagaimana orang Katolik Jawa, di antara- nya Pak Kasimo, sebelum Kemerdekaan sudah berjuang sebagai nasionalis Indonesia tulen. Bagian ketiga, dimulai dari bab 12, membahas sifat dialogal ajaran sosial Gereja dalam pelbagai dimensi. Bahwa iman dan teologi Gereja secara hakiki bersifat dialogal merupakan kesadaran teologis (dan sosiologis) baru. Daripada hanya berpegang teguh pada suatu ajaran yang sudah membatu menjadi tradisi, lalu dibawa begitu saja ke dalam dunia, Gereja menyadari bahwa iman maupun teologinya selalu bergerak dalam medan masyarakat di mana Gereja berhadapan dengan segala macam pemikiran dan tanta-ngan. Dengan sifat dialogal dimaksud bahwa iman dan teologi Gereja mau tak mau terwujud dalam menghadapi tantangan-tantangan itu. Kekuatan buku Prof. Armada ini adalah bahwa ia menempatkan ajaran sosial Gereja yang pokok-pokoknya sudah sering diuraikan ke dalam pelbagai konteks, dengan implikasi-implikasi dan acuan pada pelbagai pengalaman Gereja. Pembaca menemukan banyak petunjuk bagaimana ajaran sosial Gereja Katolik dapat menjadi inspirasi bagi umat Katolik Indonesia. Ada juga beberapa kelemahan. Tidak ada daftar nama. Dan barangkali cakupan uraiannya terlalu luas. Misalnya uraian panjang lebar tentang paham Platon dan Aristoteles tentang keadilan sebenarnya kurang relevan, begitu pula uraian tentang perkembangan pemikiran filosofis tentang demokrasi. Padahal pertanyaan sangat relevan, yang muncul di banyak negara, bagaimana sebuah minoritas berpartisipasi dalam sistem demokrasi tidak didiskusilan. Mengapa fungsi suatu Partai Katolik di Indonesia tidak diangkat, padahal seku- rang-kurangnya sudah tiga kali menjadi debat besar dan panas dalam umat Katolik Indonesia: 1960 di zaman demokrasi terpimpin, 1971 sesudah pemilihan umum pertama di bawah presiden Suharto, dan 1999 di masa reformasi. Betul, persepsi “kemiskinan struktural” dibuka dengan Rerum Novarum (h. 24), tetapi istilah itu sendiri tidak ditemukan di dalamnya, melainkan berasal dari teologi pembebasan. Karena penulis menganggap “pluralisme” tak punya arti di luar “pluralitas,” penulis tidak masuk ke dalam kontroversi tajam tentang pluralisme di Indone- sia. Fatwa MUI tentang pluralisme tidak didiskusi-kan. Uraian panjang tentang pendidikan Katolik yang sangat optimis tinggal normatif. Padahal dalam kenyataan Gereja Katolik, juga di Indonesia, biasanya justru mempertahankan pegangan eksklusif atas pendidikan. Dalam kaitan ini seharusnya penolakan UU Sisdiknas — dengan keharusan memberikan pelajaran agama kepada para siswa sesuai dengan agama mereka — oleh sebagian besar penanggap Katolik didiskusikan. Namun kekurangan-kekurangan ini tidak menghilangkan bahwa buku ini amat memperkaya pustaka Katolik berbahasa Indonesia tentang panggilan Gereja, juga panggilan Gereja Indonesia, dalam masyarakat (Franz Magnis-Suseno, Guru Besar Ilmu Filsafat Emeritus, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta). (shrink)

The present paper suggests how, from a scientific perspective, the senses establish a link between mind and matter. Ongoing research in sensory science and data analysis is related to the ongoing debate about a non-reductive theory of consciousness based on psychophysical principles. Sensory science is interdisciplinary and deals with the human perception of objects by the senses of sight, smell, taste, touch, hearing etc. Perception as information pro- cessing is here understood in terms of interactions between external physical stimuli and (...) internal mental states resulting in behavioral responses. To deal with the complex and dynamic transformation between external physical energies and internal psychological experiences multivariate methods of data analysis are shown to be useful Examples will be given from food science where cognition and emotion, activated by sense perception are vital for the survival health and well-being of humans. These approaches may contribute to bridging the explanatory gap between the subjectively experienced and the objectively observed world. Future challenges towards deeper interdisciplinary discourses addressing mind-matter research in real-world situations are at stake. (shrink)

This paper deals with the proposal of a person‐affecting version of the principle of Procreative Beneficence. Such a principle has been stated by Savulescu & Kahane in an impersonal form and balanced with a person‐affecting principle of harm to address the moral problem of the selection of future children. The paper aims to show some differences between Person‐affecting Procreative Beneficence and Savulescu & Kahane’s hybrid position, and to distinguish the former from other pro‐selection perspectives. Moreover, it explores the extension of (...) such a principle beyond selection to other issues of reproductive ethics. (shrink)

_Recensione di: __Failla, Mariannina, Sánchez Madrid, Nuria (eds.), _Le radici del senso. Un commentario sistematico della «Critica del Giudizio». Las raíces del sentido. Un comentario sistemático de la «Crítica del Juicio»_, Madrid, Ediciones Alamanda, 2019, pp. 580. ISBN: 978-84-949436-2-1_.

Impact of modernism on humanism and the existence of religions in Indonesia; collection of articles.

Philosophical Investigations, EarlyView.

Ante el panorama político doctrinario del siglo XIX caracterizado por dos filosofías opuestas y predominantes, como eran el liberalismo y el socialismo, en el presente artículo se sistematiza, por medio de una reconstrucción histórica y filosófica, la evolución del movimiento político de la Democracia Cristiana en Europa, en particular en Francia y Alemania, a través de las obras y acciones políticas de sus pioneros. Esta corriente ideológica se presenta como una �vía intermedia o alternativa� para un proyecto político fundado sobre (...) una visión cristiana de la vida y del hombre, equidistante de las posiciones del liberalismo y del socialismo radicales. (shrink)

Wittgenstein's role was vital in establishing mathematics as one of this century's principal areas of philosophic inquiry. In this book, the three phases of Wittgenstein's reflections on mathematics are viewed as a progressive whole, rather than as separate entities. Frascolla builds up a systematic construction of Wittgenstein's representation of the role of arithmetic in the theory of logical operations. He also presents a new interpretation of Wittgenstein's rule-following considerations - the `community view of internal relations'.

A relevant problem in reproductive ethics is the moral evaluation of selection of the possible children that the parents can have. This article discusses one of the main attempts to solve this problem, the principle of Procreative Beneficence proposed by Julian Savulescu to define a strong pro-selection perspective. According to Savulescu, such a principle has an impersonal form and is balanced with a person-affecting principle of harm. The article proposes a new person-affecting interpretation of Procreative Beneficence, distinguishing it from other (...) pro-selection views and exploring its extension beyond selection to other problems of reproductive ethics. (shrink)

Cet article vise à éclairer le développement des visions méta-éthiques proposées par les deux fondateurs de l’approche des capabilités, Amartya Sen et Martha Nussbaum. Les deux auteurs fondent leurs différentes conceptions de la justice sur certaines versions de l’objectivisme et se confrontent aux questions d’argumentation rationnelle dans le cas de désaccords pratiques. La réponse est différente chez Sen et chez Nussbaum. Leurs justifications méta-éthique de la théorie et leurs visions du raisonnement pratique et de l’argumentation morale présentent des similitudes et (...) des différences. (shrink)

Hermeneutika adalah ilmu tentang pemahaman. Mengapa pemahaman perlu ada ilmunya? Karena, sebagaimana kita tahu dari pengalaman sehari-hari, kita sering salah paham. Kita mendengar persis apa yang dikatakan orang lain, tetapi kita salah tangkap juga dan terjadi masalah. Hal yang sama berlaku bagi ekspresi-ekspresi manusia lain. Misalnya, ada monumen. Ambil batu-batuan di Stonehenge di Inggris yang diperkirakan sudah berumur ribuan tahun. Tentang maksud tiang-tiang batu itu para ahli tetap masih menerka-nerka. Tetapi seorang penduduk Jakarta, begitu melihat fotonya, langsung merasa tahu apa (...) yang dimaksud oleh orang-orang Inggris kuno itu: Tentu Stonehenge adalah percobaan pertama umat manusia untuk membangun kereta monorail, dan, sama dengan di Jakarta, mereka pun gagal. Mana yang benar? Masalahnya sederhana, tetapi pemecahannya tidak. Yang sederhana: kita semua sudah mempunyai pengertian-pengertian tertentu, misalnya, bahwa tiang batu ke atas merupakan calon tiang kereta mono-rail. Tetapi mereka yang membangunnya di Stonehenge barangkali punya pikiran sama sekali lain. Yang tidak sederhana: bagaimana kita yang sekarang dapat mengerti apa yang dimaksud manusia dengan sebuah monumen, padahal manusia itu sudah lama mati dan tidak dapat ditanyai lagi. Persoalan ini tentu tidak hanya mengenai monumen, melainkan menyangkut bagaimana ungkapan orang lain dapat dipahami sesuai dengan apa yang dia maksud terutama muncul apabila kita membaca sebuah teks. Kita mengira bahwa teks itu sudah jelas maksudnya, tetapi andaikata kita masih bisa bertanya pada penulis apa yang sebenarnya dia maksud dengan menulis teks itu, bisa juga maksudnya berbeda dari pra-anggapan kita.... Buku ini berakhir dengan suatu bab Penutup sepanjang 24 halaman yang merupakan semacam rangkuman. Fokus penutup amat aktual, yaitu masalah literalisme, paham bahwa sebuah teks suci harus dipahami secara harafiah tak boleh ditafsir-tafsir, serta hubungan-nya dengan fundamentalisme, radikalisme, ekstremisme agama, serta mengapa literalisme justru tidak setia terhadap teks yang dikatakan mau diikuti secara harafiah. Buku ini memberikan pengertian yang cukup lengkap, dalam bahasa yang mudah diikuti, kepada filosof pemula, tetapi juga bagi filosof kawakan, buku Budi Hardiman itu bisa sangat membantu. Buku ini terutama sangat penting bagi para teolog, ulama dan ahli Kitab Suci segala agama. (Franz Magnis-Suseno, Guru Besar Ilmu Filsafat Emeritus, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta). (shrink)

Charles Taylor—yang lahir pada 1931 di Kanada—adalah salah seorang filosof kontemporer berbahasa Inggris paling terkenal. Ia menjadi guru besar di Montreal dan mengajar juga di Oxford. Hampir 20 tahun sesudah dua jilid bukunya, Sources of the Self: The Making of Modern Identity (1989), memperoleh perhatian besar, Taylor menerbitkan buku A Secular Age, sebuah karya lebih raksasa lagi, yang oleh Robert N. Bellah disebut “salah satu buku terpenting semasa hidup saya.” Buku ini menceritakan sejarah sekularisasi di Barat dan dengan demikian juga (...) sejarah per- kembangan spiritualitas intelektual Barat dalam 500 tahun terakhir. Yang langsung mengesankan adalah luasnya pengetahuan Taylor. Taylor akrab dengan seluruh filsafat dan pemikiran yang mengungkapkan intelektualitas Barat. Uraiannya, di satu pihak, menarik garis-garis besar, di lain pihak, memperlihatkan garis-garis itu dengan penelurusan rinci terhadap apa yang ditulis oleh tokoh-tokoh intelektual, para filosof, teolog, sastrawan dan penyair. Yang juga menarik, Taylor memperlihatkan bagaimana “apa yang semula dipikirkan hanya oleh para elit, menjadi milik umum masyarakat-masyarakat seluruhnya” (hlm. 299). Perkembangan yang ditelusuri Taylor betul-betul mengherankan. Dalam pertanyaan Taylor: “Apa yang berubah antara tahun 1500 di mana hampir tidak mungkin orang tidak percaya (pada Allah), dan tahun 2000 di mana tidak hanya terdapat banyak orang ateis yang bahagia, melainkan sebaliknya di lingkungan-lingkungan tertentu iman menantang lagi sebagai aliran amat kuat?” Bagaimana Eropa Kekristenan Latin— kekristenan yang pernah memakai bahasa Latin di Eropa Tengah dan Barat, dunia yang sejak abad ke-16 terbagi dalam Katolik dan Protestan— menjadi Barat di mana “iman, bahkan bagi mereka yang yakin, hanya merupakan salah satu kemungkinan bagi manusia di antara banyak kemungkinan lain?” (hlm. 3).............................. Kesimpulan dari uraian Taylor yang dapat ditarik adalah bahwa sekularisasi merupakan sebuah proses yang kompleks, yang menggagalkan segala penjelasan sederhana dan linear. Alam sosial tersekularisasi sendiri adalah kompleks. Di satu pihak, alam itu merupakan puncak humanisme eksklusif warisan Pencerahan, tetapi, di lain pihak, eksklusivisme itu ditantang oleh suatu “kelaparan spiritual” (hlm. 680) yang tetap terarah ke sesuatu di “seberang.” “Cerita dominan sekularisasi yang cenderung mempersalahkan agama-agama atas banyaknya kesusahan dunia kita lama-kelamaan akan semakin tidak dipercayai lagi” (hlm. 770). Namun, kalau agama mau mempertahankan diri maka wakil-wakilnya harus belajar menjadi rendah hati. Perlu ditambah bahwa Taylor sedikit pun tidak memasuki pertanyaan yang banyak dikemukakan di Indonesia dan dijawab secara berbeda-beda, yaitu, apakah perkembangan 500 tahun di dunia Kristianitas Latin (Katolik dan Protestan), jadi di “Barat,” dari dunia yang penuh dengan roh-roh dan di mana ateisme sepertinya mustahil menjadi sebuah dunia humanisme eksklusif di mana untuk sebagian makin besar warga kontemporer realitas Ilahi, realitas di “seberang,” dianggap tidak ada, atau sekurang-kurangnya tidak mempunyai fungsi atau hak normatif. Buku Charles Taylor ini amat pantas dibaca dan betul-betul menantang. Kalau kita membacanya—yang tidak perlu secara tergesa-gesa—kita akan merasa mendapat wawasan yang luas, kita menjadi mengerti apa yang memotori modernitas. Buku ini betul-betul sebuah master piece. (Franz Magnis-Suseno, Guru Besar Emeritus, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta). (shrink)

Taking its cue from the famous articles in which the Jesuit Marcel Chossat, in the early decades of the last century, was the first to suggest that the doctrine of the real distinction between being and essence should be attributed to Giles of Rome, and not to Thomas Aquinas, the article proposes to consider the Neoplatonic matrix of Giles’ distinction, and to re-examine in more detail the doctrine of participation, which is the real trigger of the controversy between Giles and (...) Henry of Ghent. It suggests that Thomas Aquinas, Henry and Giles all three draw on the Proclean tradition, but each choosing different elements, as attested especially by the different readings of the fourth and ninth proposition of the De causis. Finally, it points out that the purpose of the distinction between being and essence is not at all, in Aquinas, to account for the contingency of creation, but to highlight the superiority of God not only with respect to all that possesses matter, but also to all that possesses only a form, even if intrinsically necessary. The distance between Giles and Aquinas could not be greater in this respect: the Dominican Master is not at all interested in showing the radical contingency of all creatures, including separate substances. On the contrary, insofar as he defends the idea that separate substances, as pure forms, are inseparable from their being, it remains true that one could legitimately speak, with regard to this aspect, of “St Thomas’ Averroism”, as Chossat wanted. (shrink)