On philosophy and Christian theology of humankind; festschrift in honor of J. Sudarminta, a pastor and philosophy lecturer at Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta, Indonesia.

Abstrak: Perkembangan yang sangat cepat dalam teknologi komunikasi digital telah mengubah pola-pola adaptasi manusia terhadap lingkungannya. Sudah saatnya filsafat merenungkan ciri manusia di era digital ini bukan sebagai homo sapiens, melainkan sebagai homo digitalis. Homo digitalis, berbeda dari sosok manusia pra-digital, mengalami perubahan tidak hanya dalam cara berkomunikasi, melainkan juga dalam cara merespons dunia dan menangkap kebenaran. Penulis memberi paparan fenomenologis yang kritis tentang kerumitan baru yang timbul akibat digitalisasi masyarakat. Dia berpendirian bahwa dampak revolusi digital bersifat ambivalen, yakni: membuka (...) kebebasan-kebebasan baru dalam komunikasi, tetapi sekaligus juga melepas kebebasan alamiah manusia dalam bentuk brutalitas dalam dunia digital. Sebuah rekomendasi dan kesimpulan diberikan di bagian akhir tulisan ini. Kata-kata kunci: Homo digitalis, kebenaran, digital state of nature, revolusi digital. Abstract: The fast development of digital communication technology has changed the pattern of human adaptation to their environment. Such shift has prompted philosophy to contemplate on the nature of humans in the time of digital era not as homo sapiens but as homo digitalis. Homo digitalis, being different from the figure of humans in the pre- digital world, has seen changes not only in the way of communication but also in the way of responding to the world and capturing the truth. The writer will discuss the new complexity arising from the digital society through the lens of critical phenomenology. He asserts that the impact of digital revolution is ambivalent in nature, i.e.: giving access to freedom in communication on one hand, but unleashing human natural freedom that has driven brutalities in the digital world on the other hand. A recommendation is offered and conclusion drawn at the end of this paper. Keywords: Homo digitalis, digital communication, truth, new freedom, digital revolution. (shrink)

Buku berjudul Franz Magnis Suseno: Sosok dan Pemikirannya, berisi tiga belas artikel yang terdiri dari empat artikel mengenai sosok Franz Magnis-Suseno, lima artikel mengenai pemikiran Magnis, dan empat artikel sebagai catatan, ditulis oleh beliau-beliau yang tidak diragukan lagi profesionalisme mereka. Baiklah kini dimulai dengan mengulas dahulu lima pokok pemikiran yang secara singkat dapat disebut secara tematis: 1) tentang Pancasila, 2) tentang Etika Dialog, 3) tentang sosok agama modern, 4) tentang menalar Tuhan dari dunia, 5) tentang pendekatan ilmiah sesuai teori multijagat (...) dan celah kuantum bagi Tuhan. Ternyata urutan pengulasan tidak sesuai dengan urutan dalam buku, agak mengalami perubahan karena pertimbangan tematik yang runtut.... Komaruddin Hidayat menyebut Magnis sebagai pejuang moral dan pembela hak azasi manusia. Bukankah kekuatan agama menjadi sumber moral dan penggerak masyarakat dalam bidang pendidikan, ekonomi dan lingkungan hidup demi timbulnya kelas menengah yang mandiri? Anjurannya sebaiknya ormas-ormas agama mengambil jarak dari per- mainan politik praktis, dan tidak menjadi bagian birokrasi dan politisi Lele yang sangat menikmati kondisi air keruh yang berlumpur. Kami ingat pepatah memancing di air keruh. Salah satu pemakalah F. Budi Hardiman menyebutkan bahwa Magnis tidak menempuh spiritualitas jalan mistik, meskipun mengawali pengalaman hidup intelektual di Indonesia lewat etika Jawa dan mau tidak mau berurusan dengan wayang, tetapi lebih wayang purwa terkait dengan kejawen atau kebatinan. Pada makalah perihal Etika Dialog pula disebutkan oleh Budi Hardiman bahwa di Indonesia ada jalan lain untuk mengupayakan titik temu agama-agama, yaitu jalan mistik. Memang bila dikembalikan pada bentuk bentuk spiritualitas, spiritualitas mistik yang tidak menjadi pilihan, lebih pada spiritualitas religius, kosmik dan humanistik. Ini merupakan catatan pada ulasan Sudiarja. Kini pemakalah pertama yang disebut terakhir ialah Al. Andang L Binawan yang menarik ulasannya perihal riwayat hidup dan panggilan Magnis, dan penting menyebutkan pada usia 11 tahun sudah berniat menjadi Jesuit, meskipun sempat diuraikan dengan simpatik Magnis kurang suka latihan doa panjang-panjang malah lebih suka latihan musik, dan hobby naik gunung hingga sekarang masih tapi sudah berkurang. Ia juga menguasai dua hal yang perlu baginya ialah Marxisme dan Kromo Inggil. Baginya Tuhan adalah kebenaran, keadilan dan kasih. (Toeti Heraty N. Roosseno, Guru Besar Emeritus Ilmu Filsafat, Universitas Indonesia). (shrink)

Buku relatif kecil F. Budi Hardiman, dosen di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkarta, di Jakarta, ini merupakan sumbangan penting bagi pustaka berbahasa Indonesia tentang hak-hak asasi manusia. Bahkan, setahu peninjau buku ini, cara penulis mendekati hal hak-hak asasi manusia dalam pustaka berbahasa Jerman dan Inggris pun masih dicari. Kekhasan buku ini adalah bahwa Budi Hardiman membahas hak-hak asasi manusia dengan mendiskusikan enam kontroversi paling utama di sekitarnya, yaitu (1) kritik Hannah Arendt terhadap klaim universalitas hak-hak asasi manusia (...) dari sudut republikanisme; (2) polemik dari sudut teologi Islam; (3) tantangan dari sudut multikulturalisme; (4) hak-hak asasi manusia berhadapan dengan nilai-nilai Asia; (5) tuntutan agar deklarasi hak-hak asasi manusia dilengkapi oleh daftar kewajiban-kewajiban asasi; dan (6) pertanyaan mengapa dalam budaya-budaya Indonesia “peradaban hak-hak asasi manusia sulit terwujud.” Diskursus ini bukan hanya memiliki relevansi teoretis tinggi, tetapi juga langsung relevan di Indonesia. Budi Hardiman bertolak dari tesis “bahwa ide, motif atau pun intensi dasar yg mendorong praksis hak-hak asasi manusia adalah ’tuntutan universal’ untuk melindungi manusia dari pengalaman-pengalaman negatif dalam modernitas” (hlm. 18). Tesis ini langsung mengoreksi sebuah salah paham serius yang juga merancukan debat dalam BPUPKI pada Juli 1945: Bahwa hak-hak asasi manusia merupakan produk khas liberalisme untuk mengamankan kebebasan maksimal individu terhadap komunitas; jadi bahwa hak-hak asasi manusia merupakan wahana individualisme dan ekspresi sikap egois di mana individu seakan-akan hanya mau menjamin hak-haknya sendiri. Tetapi bukan itulah maksud inti hak-hak asasi manusia. Hak-hak asasi manusia merupakan jawaban terhadap kondisi terancam dan terhina manusia berhadapan dengan kekuatan-kekuatan raksasa modernitas. Hak-hak asasi manusia mau menjamin keutuhan mereka yang tidak berdaya untuk membela diri sendiri. Karena itu, pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia menjadi bukti dan tolok ukur tanggung jawab sosial dalam suatu masyarakat................. Faktor kelima adalah agama. Agama sebenarnya memiliki “intuisi kemanusian yang melampaui suku-suku dan bangsa” (hlm. 141), akan tetapi agama bisa juga membatasi intuisi itu pada warganya sendiri. Maka unsur kunci dalam tantangan hak-hak asasi manusia bagi teologi Islam yang dibahas dalam bab 2 adalah perluasan dari perspektif yang terbatas pada umatnya sendiri ke perspektif “manusia qua manusia” (hlm. 54). Makin wawasan dibatasi pada syariah, loncatan itu kelihatan sulit. Tetapi loncatan itu harus berani dilakukan agar kesulitan Islami dengan beberapa hak asasi manusia, misalnya hak pergantian agama atau larangan terhadap hukuman kejam, dapat diatasi. Tantangan multikulturalisme: menjadi pertanyaan bagaimana kalau terjadi pertentangan antara kekhasan suatu budaya, biasanya budaya minoritas, dengan tuntutan hak asasi manusia dibahas dalam bab 3. Buku Budi Hardiman ini perlu dibaca oleh semua yang prihatin dengan diskursus hak-hak asasi manusia di negara kita yang tetap masih klise dan sering kurang bermutu. Penegasan inti penulis, bahwa tujuan dan fungsi jaminan hak asasi manusia adalah perlindungan bagi mereka yang menderita, miskin dan tereksploitasi harus terus-menerus diangkat. Alih-alih jalan ke egoisme dan individualisme hak-hak asasi manusia merupakan bukti solidaritas suatu masyarakat dengan warga-warganya yang paling lemah. (Franz Magnis-Suseno, Program Pascasarjana, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta). (shrink)

Hermeneutika adalah ilmu tentang pemahaman. Mengapa pemahaman perlu ada ilmunya? Karena, sebagaimana kita tahu dari pengalaman sehari-hari, kita sering salah paham. Kita mendengar persis apa yang dikatakan orang lain, tetapi kita salah tangkap juga dan terjadi masalah. Hal yang sama berlaku bagi ekspresi-ekspresi manusia lain. Misalnya, ada monumen. Ambil batu-batuan di Stonehenge di Inggris yang diperkirakan sudah berumur ribuan tahun. Tentang maksud tiang-tiang batu itu para ahli tetap masih menerka-nerka. Tetapi seorang penduduk Jakarta, begitu melihat fotonya, langsung merasa tahu apa (...) yang dimaksud oleh orang-orang Inggris kuno itu: Tentu Stonehenge adalah percobaan pertama umat manusia untuk membangun kereta monorail, dan, sama dengan di Jakarta, mereka pun gagal. Mana yang benar? Masalahnya sederhana, tetapi pemecahannya tidak. Yang sederhana: kita semua sudah mempunyai pengertian-pengertian tertentu, misalnya, bahwa tiang batu ke atas merupakan calon tiang kereta mono-rail. Tetapi mereka yang membangunnya di Stonehenge barangkali punya pikiran sama sekali lain. Yang tidak sederhana: bagaimana kita yang sekarang dapat mengerti apa yang dimaksud manusia dengan sebuah monumen, padahal manusia itu sudah lama mati dan tidak dapat ditanyai lagi. Persoalan ini tentu tidak hanya mengenai monumen, melainkan menyangkut bagaimana ungkapan orang lain dapat dipahami sesuai dengan apa yang dia maksud terutama muncul apabila kita membaca sebuah teks. Kita mengira bahwa teks itu sudah jelas maksudnya, tetapi andaikata kita masih bisa bertanya pada penulis apa yang sebenarnya dia maksud dengan menulis teks itu, bisa juga maksudnya berbeda dari pra-anggapan kita.... Buku ini berakhir dengan suatu bab Penutup sepanjang 24 halaman yang merupakan semacam rangkuman. Fokus penutup amat aktual, yaitu masalah literalisme, paham bahwa sebuah teks suci harus dipahami secara harafiah tak boleh ditafsir-tafsir, serta hubungan-nya dengan fundamentalisme, radikalisme, ekstremisme agama, serta mengapa literalisme justru tidak setia terhadap teks yang dikatakan mau diikuti secara harafiah. Buku ini memberikan pengertian yang cukup lengkap, dalam bahasa yang mudah diikuti, kepada filosof pemula, tetapi juga bagi filosof kawakan, buku Budi Hardiman itu bisa sangat membantu. Buku ini terutama sangat penting bagi para teolog, ulama dan ahli Kitab Suci segala agama. (Franz Magnis-Suseno, Guru Besar Ilmu Filsafat Emeritus, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta). (shrink)

On philosophical thoughts of Nikolaus Driyarkara, an Indonesian Jesuit educator and philosopher; collection of articles.

Uno de los propositos de Miro Quesada al escribir esta obra fue ofrecer "a todo aquel que se interese por la cultura latinoamericana en particular y sus manifestaciones filosoficas en particular -especialmente profesores y estudiantes- un libro que sirve para orientarlos en la produccion cada vez mas vasta y profusa de la filosofia latinoamericana.".

Abstrak: Artikel ini membahas relevansi teknologi dalam diskursus filsafat ilmu. Saya merujuk pada fenomenologi instrumentasi Don Ihde yang berfokus pada pemikiran tentang intensionalitas instrumental. Instrumen bersifat non-netral yang menentukan bagaimana kita menggapai pengetahuan. Menurut Ihde, ilmu menubuh dengan teknologi. Ia berargumen filsafat ilmu mesti mempertimbangkan pentingnya praksis dan instrumentasi alih-alih teoritisasi. Selain itu akan dibahas problem persepsi dalam ilmu dengan berpijak pada pemikiran Ihde tentang hermeneutika material. Dengan hermeneutika ini, kita menyadari bahwa materialitas ilmu bersifat reduktif terhadap kompleksitas dunia inderawi (...) dan bahwa pengetahuan meluas melampaui daya persepsi. Dari problem persepsi dalam ilmu, saya akan menjelaskan hermeneutika instrumen keilmuan sebagai moda pembacaan materialitas ilmu yang meliputi konstruksi teknologis instrumen. Instrumen dijelaskan sebagai bagian integral dari fakta dalam ilmu. Pada bagian akhir akan dibahas realisme fenomenologis ruangsiber dimana instrumen terintegrasi ke dalam ruangsiber. Kata-kata Kunci: Pascafenomenologi, intensionalitas, teknologi, mediasi instrumental, hermeneutika, ruangsiber. Abstract: This article elucidates the relevance of technology in the discourse of philosophy of science. I refer to Don Ihde’s phenomenology of instrumentation that focuses on the idea of instrumental intentionalities. Instrument is defined as non-neutral that determines how we obtain knowledge. According to Ihde, philosophy of science must consider the importance of praxis and instrumentation instead of theoritization. In addition, I will also address the problem of perception in science, realizing that reality tends to be reduced in the materiality of scientific knowledge and that our knowledge always expands beyond sense-perception. From this problem of perception, I elaborate a hermeneutics of scientific instrument based on Ihde’s material hermeneutics. In this hermeneutics, the materiality of scientific knowledge is read through technological construction instrument. Here instrument is categorized as an integral part of scientific fact. I will conclude by describing a phenomenological realism of cyberspace where instrument is integrated into cyberspace. Keywords: Postphenomenology, intentionality, technology, instrumental mediation, hermeneutics, cyberspace. (shrink)

The ultimate source of explanation in biology is the principle of natural selection. Natural selection means differential reproduction of genes and gene combinations. It is a mechanistic process which accounts for the existence in living organisms of end-directed structures and processes. It is argued that teleological explanations in biology are not only acceptable but indeed indispensable. There are at least three categories of biological phenomena where teleological explanations are appropriate.

On the Southern border of the United States in 2018, the decision was made to implement a separation policy among refugees and migrant families arriving at the border - and so a group of government employees left their homes, bidding farewell to their families as they went to work, and began to separate hundreds of children from their families, forcefully taking them to holding centres. Developing Hannah Arendt's analysis of the banality of evil, The Path to Mass Evil demonstrates how (...) the most educated, sophisticated, and advanced societies in human history have the potential to turn into an enormous killing machine, implementing mass murder on a vast scale. (shrink)

It is an intimate experience for us to think, to understand and to perceive things as being identical to themselves, and to suppose, consequently, that things are truly “what” they are. Something is always conceived as itself. The given is given full of itself in all its modifications. For instance, I can think or perceive partially some lips, I can see them almost in their whole or in some of their aspects, or just see them disappear. But it does not (...) seem to be possible to think or to perceive a given as almost itself, as an aspect or as part of itself. It is the aim of this work to study the assumptions and conditions for the original position of sameness in experience, just as it occurs in the synthesis of the datum singular and distinct. The polarization of single tone (einstimmig) intentional rays in an αvτó already contains the aporiae peculiar to the experience of the identical, whose revelation shall lead us, on the one hand, to one of the nuclei of the analysis of passive synthesis, and, on the other hand, to point up how critical revision of the numerical or extensional model of self-identity is for the unity of meaning. Then, it will be a question of pointing out the reasons why in a phenomenology of identity, the renunciation of the phenomenological legitimacy of the αvτó as a guarantee for the different positions of identity must be observed. DOI: 10.1007/978-94-011-3464-4_13 . (shrink)

This article identifies a double allusion to the tragic characters of Phaedra and Eriphyle in Amm. Marc. 14.1.3 and considers its possible meanings. In combination, these allusions evoke the double nature of the story of Eriphyle, therefore functioning as a reference to the double nature of Caesar Gallus’ depiction in Ammianus. The double allusion consequently forms part of Ammianus’ tragic style throughout Book 14. Having identified the presence of this double allusion, the article illuminates its possible meaning by connecting Ammianus’ (...) passage to the Virgilian rewriting of the description of Eriphyle in Homer. (shrink)

This study aims to determine the paradigm shift of scientists who use inner reason to external reason (mind), a concept initiated by Aristotle. The change allegedly occurred because of the strict laws of science. Philosophers basically talk about a topic broadly and deeply about inner reason, while scientists are more focused and narrower (outer reason). Data are obtained from six articles closely related to reason, mind, and brain, then explored and presented by six expert panels for data analysis using the (...) N Vivo 12 QSR tool. The study shows a very strong correlation between the philosophical factor and reason. The results of the cluster analysis describe various comprehensive topics discussed by philosophers regarding reason which are correlated with inner reason and God, while the scientific discussion shows a very strong correlation between the brain and the alpha band. The alpha band is a condition that exists in brain waves. The cluster analysis results illustrate that scientists' discussions are focused and narrow on the brain. Thus, there has been a paradigm shift, where scientists now use outer reason to solve problems in life rather than applying inner reason. An interesting finding from this paper is that philosophers refer to reason as a noun, which means that reason is matter. This information is helpful because until now, based on a literature search, there have been no articles from scientists explaining that reason is a matter. (shrink)

Teachers have a very important role in determining the quality of the teaching-learning process and the students’ learning outcomes. Learning outcomes will optimally be achieved if it is supported by qualified teachers. One way to enhance the teachers’ performance is through instructional supervision which can be divided into two techniques, namely group and individual supervision techniques. Therefore, this study aims to find out the influence of instructional supervision techniques on the work motivation and performance of elementary school teachers. This study (...) was conducted in East Java, Indonesia, and an explanatory research design was used. The sample was taken from 80 elementary school teachers in Malang and Blitar using a multi-stage random sampling technique. Data were collected through the use of questionnaires and documentation, and then they were analyzed by using the structural equation modeling technique. The result of this study showed that group supervision has a significant effect on teachers’ performance, whereas individual supervision influenced teachers’ work motivation and it affected their performance. (shrink)

O presente volume reune quase uma trintena de artigos com temas culturais, de consagrados autores portugueses e brasileiros, que assim pretenderam homenagear o Professor. oordenada por Joaquim Gonçalves, a obra é estruturada em 4 partes. As três primeiras agrupam as intervenções, consagrando-se a quarta à vida e obra do homenageado.

We state and comment our recent results on the incompleteness of elementary real analysis and their relevance for the axiomatized sciences.

The popularization of neuroscientific ideas about learning—sometimes legitimate, sometimes merely commercial—poses a real challenge for classroom teachers who want to understand how children learn. Until teacher preparation programs are reconceived to incorporate relevant research from the neuro- and cognitive sciences, teachers need translation and guidance to effectively use information about the brain and cognition. Absent such guidance, teachers, schools, and school districts may waste time and money pursuing so called brain-based interventions that lack a firm basis in research. Meanwhile, the (...) success of our schools will continue to be narrowly defined by achievement standards that ignore knowledge of the neural and cognitive processes of learning. To achieve the goals of neuroeducation, its proponents must address unique ethical issues that neuroeducation raises for five different groups of individuals: a) practicing teachers, b) neuroscience researchers whose work could inform education, c) publishers and the popular media, d) educational policy-makers, and e) university-level teacher educators. We suggest ways in which these ethical challenges can be met and provide a model for teacher preparation that will enable teachers themselves to translate findings from the neuro-and cognitive sciences and use legitimate research to inform how they design and deliver effective instruction. (shrink)

The study of conscious experience per se has not kept pace with the dramatic advances in PET, fMRI and other brain-scanning technologies. If anything, the standard approaches to examining the 'view from within' involve little more than cataloguing its readily accessible components. Thus the study of lived subjective experience is still at the level of Aristotelian science, leading to a widespread scepticism over the possibility of a truly scientific study of conscious experience. Drawing on a wide range of approaches -- (...) from phenomenology to meditation -- The View From Within examines the possibility of a disciplined approach to the study of subjective states. The focus is on the practical issues involved. (shrink)

The question whether ethical behavior is biologically determined may refer either to thecapacity for ethics (e.i., the proclivity to judge human actions as either right or wrong), or to the moralnorms accepted by human beings for guiding their actions. My theses are: (1) that the capacity for ethics is a necessary attribute of human nature; and (2) that moral norms are products of cultural evolution, not of biological evolution.Humans exhibits ethical behavior by nature because their biological makeup determines the presence (...) of the three necessary, and jointly sufficient, conditions for ethical behavior: (i) the ability to anticipate the consequences of one's own actions; (ii) the ability to make value judgements; and (iii) the ability to choose between alternative courses of action. Ethical behavior came about in evolution not because it is adaptive in itself, but as a necessary consequece of man's eminent intellectual abilities, which are an attribute directly promoted by natural selection. (shrink)

The question whether ethical behavior is biologically determined may refer either to the capacity for ethics (i.e., the proclivity to judge human actions as either right or wrong), or to the moral norms accepted by human beings for guiding their actions. I herein propose: (1) that the capacity for ethics is a necessary attribute of human nature; and (2) that moral norms are products of cultural evolution, not of biological evolution. Humans exhibit ethical behavior by nature because their biological makeup (...) determines the presence of three necessary conditions for ethical behavior: (i) the ability to anticipate the consequences of one’s own actions; (ii) the ability to make value judgments; and (iii) the ability to choose between alternative courses of action. Ethical behavior came about in evolution not because it is adaptive in itself, but as a necessary consequence of man’s eminent intellectual abilities, which are an attribute directly promoted by natural selection. That is, morally evolved as an exaptation, not as an adaptation. Since Darwin’s time there have been evolutionists proposing that the norms of morality are derived from biological evolution. Sociobiologists represent the most recent and most subtle version of that proposal. The sociobiologists' argument is that human ethical norms are sociocultural correlates of behaviors fostered by biological evolution. I argue that such proposals are misguided and do not escape the naturalistic fallacy. The isomorphism between the behaviors promoted by natural selection and those sanctioned by moral norms exist only with respect to the consequences of the behaviors; the underlying causations are completely disparate. (shrink)

Jacques Derrida is doubtless one of the most controversial phi- losophers of our time. Controversies surrounding him are mainly caused by his radical ideas which have shaken the main traditions of thinking in Western Philosophy. He demonstrates the contradictions of various philophical concepts. He also uses a provocative approach by connect- ing religion with atheism. This essay will demonstrate Derrida’s concept of religion and how it is connected with atheism. Derrida does not present a theology; however his idea of atheistic (...) faith can contribute to a critical understanding of faith and its expressions within religions. Keywords: Iman (faith), agama (religion), teror (terror), ateis (atheist; athe- istic), hadiah (gift; reward), pengetahuan (knowlegde). (shrink)

Bandung is one of Indonesia’s most prominent metal music bases, even in Asia, with a growing variety of metal subgenres (Barendregt & Zanten, 2002; Baulch, 2003; Sen & Hill, 2000; Wallach, 2008). T...

The plurality of cultures and religions is one of the most difficult challenges our world has to face at present. Tensions in various forms have become daily news, which puts into question our ability and willingness to share this planet earth as our common place to live together. There is not only a need to develop the best strategy to live together, but also to find fundamental arguments for conviviality. This article presents the ideas of Johann Baptist Metz, a German (...) theologian, on a politic based on compassion. Memoria passionis, remembering the suffering, especially that of others, is the basis for constructing a new politics of peace. Keywords: Politics, compassion, plurality, victim, suffering, memory. Abstrak: Salah satu dari tantangan terbesar yang sedang dihadapi masyarakat dunia dewasa ini adalah ketidaksanggupan berbagai kelompok untuk menanggapi pluralitas kebudayaan dan agama. Kemajemukan bukanlah realitas baru. Yang baru adalah intensitas pengalaman kemajemukan itu. Berbagai ketegangan hingga konflik berdarah menjadi berita harian yang mempertanyakan kemampuan dan kesediaan kita untuk berbagi hidup di atas bumi ini dengan orang-orang yang berbeda budaya dan agama. Menghadapi masalah ini, kita tidak hanya perlu mengembangkan strategi yang paling baik untuk dapat hidup bersama secara damai dan adil, tetapi juga membutuhkan pengembangan argumen-argumen yang memberikan pendasaran bagi strategi tersebut. Artikel ini hendak memperkenalkan pandangan Johann Baptist Metz, seorang teolog berkebangsaan Jerman, tentang politik yang berbasiskan compassio. Memoria passionis, mengenang penderitaan, khususnya penderitaan orang lain, merupakan dasar untuk membangun sebuah politik perdamaian bagi dunia. Kata-kata Kunci: Politik, compassio, pluralitas, korban, penderitaan, kenangan. (shrink)

José Otero Espasandín (1900-1987) was an important science popularizer in Argentina during the 1940´s, who belonged to the Misiones Pedagógicas (Educational Missions) group in Spain. This paper presents his biography and his work as a science and technology popularizer. It focused on his features, value and significance for that period.

Medical stem cell research is currently the cause of much moral controversy. Those who would confer the same moral status to embryos as we do to humans consider that harvesting such embryonic cells entails sacrificing embryos. In this paper, the author analyses critically the arguments given for such a perspective. Finally, a theory of moral status is outlined that coherently and plausibly supports the use of embryonic stem cells in therapeutic research.

Sobre el libro: El presente libro recoge las ponencias presentadas en la reunión anual del Seminario Spinoza que tuvo lugar en la Facultad de Filosofía de la UNED los días 13 y 14 de marzo de 2009, así como la presentación del cuadro de Espinosa pintado por Sorolla procedente de la Donación Simarro y perteneciente al fondo artístico de la Universidad Complutense, que tuvo lugar en El Escorial en el verano de 2008. Los trabajos se articulan en cuatro apartados: la (...) política, la ciencia, la proyección de Espinosa en la Ilustración y la iconografía de Espinosa, y sitúan a Espinosa en su siglo, destacando su carácter anómalo en relación con el resto de autores de su entorno. Espinosa no se adaptó a la crisis, sino que se esforzó por comprenderla sin ceder en sus ideales, lo que permitió que las ilusiones renacentistas se desarrollaran en la ilustración, superando el hiato de la crisis barroca. (shrink)

Œuvre de maturité de François Suarez (1548-1617), Des lois et du Dieu législateur a été publié en latin en 1612. Parmi les dix livres que comprend cet ouvrage, nous avons choisi de présenter pour la première fois les deux premiers en langue française. À partir de l'héritage retravaillé de la philosophie politique antique et médiévale, Suarez élabore une théorie originale de la loi et de la communauté en renouvelant leur rapport à l'éthique et à la jurisprudence. Dans une période marquée (...) notamment par la controverse de Valladolid (1550) et la Contre-Réforme, l'auteur redéfinit le contenu et la finalité des concepts fondamentaux de la théorie politique (l'état de nature, le droit naturel, le droit subjectif, la loi naturelle, le pacte social, la souveraineté, l'État et le droit des gens) en les articulant à une compréhension historique de l'homme conçu comme être libre, raisonnable et fini. Suarez instaure ainsi les conditions d'un basculement du théologico-politique dans la modernité dont les effets se feront sentir, entre autres, chez Grotius et l'École du droit naturel. Les conséquences de ce mouvement seront perceptibles jusqu'au XVIIIe siècle avec Wolf. Des lois et du Dieu législateur permet précisément d'apprécier à sa juste mesure la place privilégiée qu'il convient de redonner à la théorie suarézienne de la loi dans l'histoire de la pensée politique. (shrink)

"El amor en su singularidad erótica es tratado en esta obra desde el auspicio de la poesía y la filosofía, las cuales nos llevan de la mano a los desolados parajes del mundo biológico-psíquico para retener aquello de lo que "no se puede decir nada". Aun así, no es éste un intento de explicar fenomenológicamente el amor, sino una modesta evocación de los momentos y comportamientos humanos en su tránsito hacia el Eros y la experiencia que de ellos se ha (...) obtenido."-- Cubierta trasera. (shrink)